Judul: Mulutmu Harimaumu, Bahaya Lisan
Penulis: Dr. Umar Abdul Kafii
Penerbit: Maghfirah Pustaka
Penerjemah: Ummu Hasnan, Lc
Editor: Ahmad Faisal
Halaman: 260 halaman
Harga: Rp 56.000
Don’t judge a book by cover. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan buku Mulutmu Harimaumu, Bahaya Lisan terbitan Maghfirah Pustaka ini. Karena jujur, saya kurang suka dengan gaya ilustrasi dari cover buku tersebut. Rasanya kurang pas menyandingkan judul buku yang berisi teguran dengan ilustrasi yang terkesan humor.
Garis-garis ilustrasi yang menggambarkan kepala manusianya justru mengingatkan saya dengan komik strip di koran-koran. Sisi humor dan sarkastik dari ciri khas gambar ini sudah tertanam di benak saya, sehingga membuat saya menilai ilustrasi covernya kurang pas. Ditambah font judulnya yang kurang menarik, membuat saya sempat enggan untuk membaca bukunya.
Tapi, sekali lagi don’t judge a book by cover, kita tidak bisa menilai buku ini dengan baik jika tidak melihatnya secara keseluruhan. Apalagi sebenarnya buku ini memiliki tema yang bagus. Cocok dengan kondisi kehidupan masyarakat modern zaman sekarang. Sedikit-sedikit nyetatus, sedikit-sedikit posting di media sosial. Bahkan terkadang, tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu, kita langsung nge-share info-info yang bisa saja hoax alias berita palsu.
Lalu, ujung-ujungnya ketika ada komentar yang tidak sepaham dengan kita, kita akan marah dan memperdebatkan hal itu sampai kita menang dan merasa puas. Nauzubillah minzalik ...
Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa:
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (al-Hujurat [49]: 6) - halaman 39
ISI BUKU
Buku ini memang bukan sekadar buku non-fiksi biasa. Buku ini adalah suatu pemikiran cerdas dari penulisnya, Dr. Umar Abdul Kafii mengenai seberapa bahayanya lisan manusia. Bak sebilah pedang, lisan manusia itu sangatlah tajam. Kalau kita tidak berhati-hati menjaga lisan, kita bisa menorehkan luka di hati sesama. Kalau tidak berhati-hati, kita bisa menimbulkan gosip, fitnah, dan segala macam keburukan yang bukan hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga orang lain yang menjadi lawan bicara dan kita bicarakan.
Dalam buku ini dijelaskan, bahwasannya hubungan rumah tangga suami-istri bisa hancur gara-gara lisan. Seorang anak bisa menjadi durhaka kepada orangtuanya gara-gara lisan. Hubungan silaturahmi pun bisa putus gara-gara lisan.
Kita mungkin beranggapan, menjaga lisan adalah hal yang mudah. Asal tidak mengatakan hal yang buruk kepada orang lain, bertutur kata lembut, dan sopan itu sudah cukup. Tapi kenyataannya, persoalan menjaga lisan tidak hanya sebatas itu. Terkadang tanpa sadar, ketika kita berbuat baik kepada seseorang, kita mulai mengungkit-ungkit kebaikan tersebut di depan orang lain atau malah orang yang kita tolong.
Niat hati mau membanggakan diri, tapi lisan yang dipenuhi kesombongan itu perlahan membuat hati kita jemawa, mudah merendahkan, dan meremehkan orang lain.
Niat hati mau membanggakan diri, tapi lisan yang dipenuhi kesombongan itu perlahan membuat hati kita jemawa, mudah merendahkan, dan meremehkan orang lain.
Diibaratkan, jika minuman keras adalah induknya dosa besar, maka sombong adalah bapaknya dosa besar. - halaman 49
Sedangkan dalam Islam, seseorang yang menyimpan kesombongan sekecil apa pun di dalam hati mereka, tidak diperkenankan masuk surga. Apalagi yang sampai dikeluarkan melalui mulut?
Pada intinya, pembahasan mengenai perkara menjaga lisan ini memang sangat kompleks. Satu sikap mempengaruhi sikap yang lain. Namun, yang saya suka, buku ini mampu menuturkan akar permasalahan yang disebabkan oleh lisan dengan baik. Penjelasannya tidak bertele-tele, lugas, dan enak dibaca oleh orang awam seperti saya sekalipun.
Juga buku ini tidak banyak mengutip ayat al-Qur’an yang tidak penting atau sekadar tempelan. Sehingga setiap kali dimunculkan ayat al-Qur’an yang mendukung opini si penulis, isi buku ini jadi terlihat lebih berbobot.
1 komentar:
Ini pengingat banget buat kita.
Sebagai blogger tulisan kita pun mewakili apa yg hendak disampaikan oleh mulut ini yaaa...
Makasih sharingnya mbak Nila 😉
Posting Komentar