Dalam kehidupan, kita pasti akan
mengalami satu titik terendah, di mana segala ketakutan dan luka di masa lalu
menyerang secara bersamaan. Ketika semua masalah membuat kita tidak berdaya dan
tidak mampu lagi untuk berpura-pura bersikap biasa, cuek, atau tegar di hadapan
orang lain, mungkin yang kita butuhkan saat itu adalah menangis.
Mungkin terdengar biasa atau ada yang
beranggapan terlalu cengeng? Itu tergantung sudut pandang siapa yang kita
pakai. Kalau laki-laki pasti akan beranggapan seperti itu, tapi kalau perempuan
lain persoalan.
Pada dasarnya menangis bukanlah
masalah gender. Tak peduli lelaki atau perempuan, apapun latar belakang dan
berapapun usia kita, kita boleh menangis. Ini merupakan salah satu cara terbaik
dalam meluapkan emosi. Mungkin perempuan lebih sering memakainya daripada
lelaki, sampai akhirnya menangis diidentikkan dengan kata perempuan. Tapi
sekali lagi saya perlu menegaskan, menangis bukan hanya ‘bahasa’ perempuan.
Menangis adalah sifat manusiawi ketika bibir tidak lagi dapat mengungkapkan isi
hati. Ketika otak tidak mampu memberikan jawaban atau penyelesaian atas situasi
yang terjadi saat itu.
Kita bisa mengeluarkan semua rasa
sesak di dalam dada. Karena bagi saya sendiri, menangis merupakan salah satu
pelarian, semacam pelampiasan dimana kita tidak bisa mengontrol amarah, rasa
sakit, dan segala emosi yang meluap. Justru yang lebih berbahaya adalah ketika
seseorang menekan perasaannya dan mengatakan ‘jangan nangis’ sampai akhirnya
dia menjadi seorang yang pemarah. Sudah menjadi rahasia umum, orang yang
pemarah cenderung memiliki sikap destruktif.
Pernah mendengar kata destruktif? Istilah
ini merupakan sikap pengerusakan terhadap sesuatu, bisa diri sendiri maupun
‘dunia luar’ berupa makhluk hidup ataupun benda mati. Contohnya saat kita
memiliki keinginan kuat untuk membanting piring atau barang pecah belah hingga
hancur berantakan. Prang! Prang! Setelah itu rasanya hati kita lebih mendingan.
Saya tidak akan mengatakan sikap itu
salah, karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk meluapkan
emosinya, bahkan ada seseorang baru bisa reda amarahnya setelah memukul benda
keras seperti tembok, tanpa peduli apakah tangannya terluka atau tidak.
Tapi saya juga tidak ingin
membenarkan sikap destruktif, karena jika kita orang kaya yang bisa membeli dan
mengganti berbagai barang yang habis kita pecahkan maka semua menjadi tidak
masalah, tapi jika bukan maka hal tersebut hanya akan menambah runyam. Terlebih
lagi, destruktif berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang di sekitar
kita. Destruktif terhadap diri sendiri alias melakukan ‘pengerusakan’ terhadap
fisik kita seperti menonjok tembok hanya akan menyakiti tangan kita. Juga yang
menjadi kekhawatiran adalah bila sikap ‘pengerusakan’ tersebut dilampiaskan
kepada orang lain, seperti membuat memar wajah orang, masalah takkan kunjung
selesai.
Jadi, menangislah karena air mata
dapat bekerja lebih baik dalam menenangkan hati kita daripada sikap destruktif,
setelah itu berjanjilah pada diri sendiri, kita akan kembali bangkit dari
keterpurukan. Jangan jadi manusia cengeng sungguhan! Karena manusia yang
cengeng adalah seseorang yang menjadikan masalah sebagai alibi untuk bisa
terus-menerus larut dalam tangisan tanpa berniat ‘melawan’ masalahnya.
Guys,
ingat roda kehidupan terus berjalan! Mungkin saja, saat ini kita sedang berada
di bawah, berada di titik dimana kita merasa dunia seolah-olah sedang
menertawakan kita. Tapi jangan lupa, suatu hari akan ada waktunya kita berada
di atas. Ada saatnya kita mampu ‘berdiri tegak’ setelah kita berhasil melewati
segala macam emosi yang pernah menyakiti diri kita.
by Nila Fauziyah
0 komentar:
Posting Komentar