Baru-baru ini saya membaca sebuah berita di media sosial. Tentang dua orang utan yang sebelumnya harus menjalani masa rehabilitiasi untuk mengembalikan sifat alami mereka. Memang, sebelum menjalani masa rehabilitasi, kedua orang utan ini sempat menjadi hewan peliharaan. Kondisi keduanya berbeda saat diserahkan ke tempat pusat penyelamatan, ada yang cukup memprihatinkan, sedang satu lagi terpelihara cukup baik sampai diberi makan nasi, sayur, dan buah.
Hanya saja, sebaik apa pun kita memelihara orang utan, hewan tersebut tetaplah satwa liar yang mana Pemerintah telah melarang kita untuk memelihara satwa-satwa yang dilindungi.
Beberapa tahun menjalani masa rehabilitasi, kedua orang utan itu diajarkan berbagai kemampuan dasar untuk bertahan hidup, seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Mereka dilatih sampai akhirnya mereka siap untuk dilepaskan. Karena apabila tidak ada kemajuan dalam latihan tersebut, atau dikarenakan orang utan sudah telanjur mendapat perlakuan yang salah sebelum masuk ke pusat rehabilitasi, bisa-bisa mereka kehilangan kemampuan bertahan hidup mereka secara permanen. Kalau sudah begitu, dapat dipastikan mereka tidak akan pernah bisa dilepasliarkan ke alam bebas.
Orang utan dilepasliarkan di hutan Sumber: Kompas.com |
Saya pikir, kedua orang utan itu cukup beruntung. Karena mereka mampu beradaptasi dengan baik dan berhasil dilepasliarkan. Mereka juga mendapatkan rumah baru yang aman, yaitu Taman Nasional Bukit Baka Raya (TNBBR), Kalimantan Barat. Pihak rehabilitasi berpikir, TNBBR memiliki status sebagai Taman Nasional yang artinya dapat menjamin keselamatan satwa-satwa yang ada di dalamnya.
Masih dalam berita tersebut, pihak rehabilitasi juga mengatakan bahwa mereka memang semakin kesulitan menemukan hutan yang aman untuk melakukan pelepasliaran. Sudah menjadi rahasia umum, hutan-hutan di Indonesia banyak yang terdeforestasi. Hal ini, mau tidak mau membuat satwa-satwa yang tinggal didalamnya “bermigrasi” ke tempat lain. Bahkan banyak pula satwa-satwa yang tidak dapat bertahan hidup karena kehilangan tempat tinggal mereka.
APA ITU DEFORESTASI?
Kita bisa memahaminya sebagai suatu penghilangan lahan hutan untuk dijadikan Areal Bukan Hutan. Bisa disebabkan oleh penebangan liar, bencana alam, kebakaran hutan baik yang terjadi secara alami ataupun disengaja, termasuk pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan.
Deforestasi Sumber: Twitter HCSA @Highcarbonstock |
Deforestasi ini tentu saja berpotensi merusak ekosistem hutan dan berita yang saya ceritakan sebelumnya, hanyalah salah satu contoh peristiwa yang diakibatkan oleh deforestasi. Jika dijabarkan, sebenarnya masih banyak dampak lain dari istilah ini. Seperti terjadinya perubahan iklim, terganggunya siklus air, terjadinya banjir dan erosi tanah, kekeringan, abrasi pantai, dan lain-lain.
Mungkin di antara kita akan bertanya-tanya, di mana peran pemerintah dalam permasalahan yang sudah mengglobal ini? Apakah tanah-tanah hujau yang duluanya sangat luas benar-benar harus gundul?
Tapi tentu saja kita tidak bisa terus menerus menyalahkan pemerintah. Sebab, pemerintah juga sudah berupaya untuk bisa mempertahankan areal hutan. Pemerintah pun kerap melakukan hubungan dan kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki visi-misi serupa.
TEROBOSAN HSC APPROACH TOOLKIT VERSI 2.0
Ada sebuah metodologi yang baru saja diluncurkan. Metodologi yang menurut saya bisa menjadi inovasi untuk menanggulangi deforestasi. Namanya High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit versi 2.0, yang diluncurkan di Bali pada 3 Mei 2017. Bisa lihat di sini http://highcarbonstock.org/the-hcs-approach-toolkit/. Metodologi ini merupakan pengembangan dari HCS Approach Toolkit yang sebelumnya diluncurkan pada April 2015.
Untuk diketahui, HCSA merupakan sebuah terobosan bagi berbagai perusahaan, masyarakat, institusi dan praktisi teknis yang memiliki komitmen bersama untuk melindungi hutan alam sekunder yang tengah mengalami regenerasi, yang menyediakan cadangan karbon penting, habitat bagi keanekaragaman hayati dan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.
Co-Chair Grant Rosoman dalam peluncuran HCSA Toolkit versi 2.0 Sumber: http://www.didikjatmiko.com |
Versi pertama mendapat evaluasi dari percobaan lapangan, serta topik-topik baru, dan masukan-masukan dari berbagai kelompok kerja HCS Approach Steering Group, sebuah organisasi keanggotaan yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan. Toolkit yang sebelumnya telah disempurnakan berdasarkan hasil dari 'Kesepakatan Konvergensi' antara HCS Approach dan HCS Study, pada November 2016 lalu.
Dengan dilengkapinya HCS Approach Toolkit Versi 2.0, HCS Steering Group saat ini dapat fokus pada uji coba metodologinya, agar dapat disesuaikan bagi para petani kecil, serta memperkuat persyaratan sosial yang dikembangkan sebagai bagian dari proses konvergensi HCS.
Dalam peluncurannya, Grant Rosoman selaku Co-Chair dari High Carbon Stock (HCS) Steering Group mengatakan, “Membiarkan deforestasi atau pembabatan hutan alam demi perkebunan sudah merupakan suatu hal di masa lalu. Hari ini, kami meluncurkan sebuah toolkit dengan metodologi yang memberikan panduan teknis yang praktis dan terbukti kuat secara ilmiah, untuk mengidentifikasi dan melindungi hutan alam tropis.
Sang Co-Chair HCS juga menyatakan bahwa selama dua tahun itu, para pemangku kepentingan telah menyatukan berbagai upaya untuk menyepakati satu-satunya pendekatan global untuk menerapkan praktek 'Non-Deforestasi'. Metodologi yang dihasilkan telah memperluas persyaratan sosialnya, pengenalan, dan penerapan terhadap data cadangan karbon, yang mencakup teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR, untuk mengoptimalisasi konservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi petani-petani kecil.
Sang Co-Chair HCS juga menyatakan bahwa selama dua tahun itu, para pemangku kepentingan telah menyatukan berbagai upaya untuk menyepakati satu-satunya pendekatan global untuk menerapkan praktek 'Non-Deforestasi'. Metodologi yang dihasilkan telah memperluas persyaratan sosialnya, pengenalan, dan penerapan terhadap data cadangan karbon, yang mencakup teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR, untuk mengoptimalisasi konservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi petani-petani kecil.
Aktivitas penanaman pohon di salah satu lahan gambut di Sumatra Selatan Sumber: Twitter HCSA @Highcarbonstock |
HCSA ini bisa dikatakan berjalan sukses sebagaimana diukur berdasarkan implementasi pelaksanaan kerja sama - kerja sama dengan berbagai pihak. Baik itu Organisasi Non Pemerintah (LSM) di berbagai negara, perusahaan maupun komponen lainnya. Sebelumnya metode ini telah sukses diterapkan di enam negara sejak tahun 2014, pada 10 juta hektar lahan untuk mengidentifikasi hutan konservasi.
The High Carbon Stock Approach
TAK KENAL MAKA KENALAN
Saya tahu HCSA Steering Group mengawasi penuh HCS Approach Toolkit. Tapi saya pikir, tidak ada salahnya mencari tahu lebih banyak tentang HCSA Steering Group. Kita bisa mengaksesnya melalui website: http://highcarbonstock.org.
Jadi, HCS Approach Steering Group adalah sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, yang dibentuk pada tahun 2014 untuk mengelola HCS Approach. Steering Group (SG) dibentuk agar dapat mengawasi pengembangan selanjutnya dari metodologi tersebut, termasuk penyempurnaan terhadap definisi, objektif dan hubungan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, untuk menghentikan praktek penggundulan hutan. SG pun memandu implementasi dari metodologi tersebut, berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan dan mengembangkan/ menjalankan pengelolaan terhadap model dari metodologi tersebut.
1 komentar:
Nah bener, tak kenal maka harus kenalan ya mbak. Seperti kita ini xixi. Btw suka ngelus dada aja kalau melihat ada deforestasi hutan yang pastinya membuat jumlah hutan berkurang dong ya. Semoga HCSA ini menjadi terobosan yang bisa diterima dan didukung oelh banyak pihak karena hal-hal positifnya. Termasuk dengan kita dong ya mendukung semampu mungkin demi kelestarian hutan Indonesia
Posting Komentar