Hobi yang
dilakukan secara tekun memang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Begitu pula
yang terjadi pada Lia Ayu Susilowati, owner Geulie’s Handmade yang awalnya
hanya menjadikan handmade sebagai
hobi. Kini bisnisnya telah menghasilkan omzet 30-35 juta perbulan.
Sudah
sejak dulu, handmade menjadi makanan
sehari-hari bagi perempuan yang akrab disapa Lia. Pengalamannya menjadi ketua
eskul majalah dinding (mading) saat duduk di bangku SMP membuat Lia dikenal
sebagai gadis yang kreatif. Bisa dikatakan darah seni mengalir dalam tubuh Lia
berkat kedua orang tuanya. Sang ibu bernama Emilia Mulyati pernah menjadi
seorang penari, sedangkan ayah Susilo pernah menjadi pelukis.
Berbicara
mengenai pelukis, sebenarnya Lia juga gemar menggambar dan melukis. Bahkan dulu
ia kerap menjuarai lomba melukis dengan aliran naturalisme, melukiskan segala
sesuatu sesuai dengan yang tertangkap oleh mata manusia. Hanya saja pada tahun
2009 selepas lulus dari SMAN 6 Depok, aliran lukisnya berpindah haluan ke arah fashion. Sebab Lia berhasil diterima di
Universitas Negeri Jakarta dengan jurusan Tata Busana melaui jalur PMDK. Pengetahuan
Lia bertambah. Dari sana, ia mulai mempelajari soal busana, aksesori, sampai
teknik pembuatan kain yang nantinya menjadi modal bagi Lia untuk berbisnis
Geulie’s Handmade.
Memasuki semester dua, Lia sempat bekerja dengan
lelaki berkebangsaan India. Pemilik toko Mayestik itu menilai Lia memiliki
potensi. Lia diperbolehkan bekerja di sana meski saat itu masih kuliah. Jadi, setiap
minggu Lia menyetorkan hasil desainnya kepada pemilik toko. Klien-klien di
tempat kerjanya banyak dari kalangan artis. Sampai teman-teman Lia yang mengetahui,
merasa bangga dan memberi support. Tapi
tak sedikit pula senior di kampus yang mencibirnya karena Lia dianggap masih
junior, belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bekerja menjadi desainer di
Mayestik.
Sebenarnya
bukan tanpa alasan Lia menerima tawaran bekerja di sana. Melainkan demi
memenuhi kebutuhan kuliah.
Saat itu bisnis keluarganya sedang jatuh. Ayahnya yang sempat memiliki usaha
taksi mengalami penipuan. Sopir taksi yang dipercaya oleh keluarga Lia justru
memakai taksi tersebut untuk kepentingan pribadi. Setoran tidak didapat, usaha
pun merugi. Akhirnya sang ibu memutuskan untuk berjualan nasi uduk di kampus
UNJ.
Kendati demikian, Lia tak merasa malu membantu orang
tuanya berjualan. Bahkan Lia ikut berjualan es potong yang ia buat sendiri
untuk ditawarkan keliling. Nantinya uang hasil jualan diputar lagi untuk modal
jualan berikutnya. “Sebelum kelas, biasanya aku jualan
dulu. Sampai dijuluki
‘kuda-kuda’ alias kuliah-dagang-kuliah-dagang,”
papar Lia sambil tertawa kecil.
Memulai Usaha
Geulie’s Handmade
Nama brand Geulie’s
Handmade terinspirasi dari bahasa Sunda, yaitu geulis yang berarti cantik. Lia mengharapkan para pelanggannya
semakin cantik setelah menggunakan produk kreasinya. Brand Geulie’s Handmade dapat
diartikan pula sebagai kreasi hasil tangan khas Lia Ayu. Kreasinya itu sendiri
meliputi aksesoris wedding, coker, hand bucket, aksesoris kebaya, bros,
aksesoris gelang dari tulang, sampai aksesoris sepatu dari kerang.
Anak
pertama dari tiga bersaudara itu mengisahkan, kali pertama terpikirkan untuk
membuka usaha yaitu setelah lulus kuliah pada tahun 2012. Saat itu ia sudah
tidak lagi bekerja di Mayestik. Namun berbagai pengalaman yang ia dapatkan
menjadikan rasa percaya dirinya tumbuh. Bermodalkan uang Rp 50.000, Lia
memutuskan untuk membeli kain jersey yang kemudian disulap menjadi hijab
pasmina. Dengan memodifikasikan teknik teksmo, yaitu teknik monumental yang
dilakukan dengan cara merusak bahan, merebus bahan, sampai menjadi bahan yang
unik, pasmina buatan Lia mendapat tanggapan positif dari teman-temannya.
Keuntungan penjualan mencapai Rp. 350.000, lalu diinvestasikan kembali untuk
mengembangkan bisnis.
Sebelum usahanya merambah pada
pembuatan gelang, kalung, cincin, dan aksesoris wedding lainnya, Lia sempat membuat replika cake. Replika berbentuk kue atau jajanan pasar yang terbuat dari
bahan flannel, yang umumnya dijadikan hantaran pada acara perkawinan. Lia mengaku
kebanyakan pembeli replika ini berasal dari orang-orang boga.
Sedangkan untuk aksesori wedding, Lia tertarik setelah melihat prospek
bisnis aksesoris wedding jauh lebih
menjanjikan. Terlebih sejak SMA Lia pernah menjajal bisnis aksesoris. Kini
perempuan kelahiran 19 Mei 1991 itu hanya perlu menekuninya kembali. Lia menyadari
bisnis yang dijalani saat ini juga banyak digeluti oleh pengusaha lain. Namun,
ia tidak takut bersaing. Justru dengan adanya persaingan, ia dituntut untuk
menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Berbicara mengenai kreativitas, Lia tidak pernah kehabisan ide dalam membuat
produk Geulie’s Handmade. Justru saking banyaknya ide yang ada di dalam kepala,
Lia harus segera menyalurkan ke dalam bentuk desain gambar. Sampai-sampai
perempuan yang kerap memakai long dress
dan hijab itu, tak pernah lepas dari sketchbook
apabila sedang pergi keluar kota.
Lia merasa harus aktif menciptakan
produk-produk baru, agar pelanggan tidak bosan dengan produk yang itu-itu saja. Sekaligus sebagai strategi bisnis agar
Geulie’s Handmade dapat bertahan di tengah persaingan industri yang semakin
ketat. Citra “ekslusif” juga melekat pada usaha yang Lia geluti. Satu desain
hanya dibuat satu model. Terutama untuk produk-produk yang dijual dengan harga
mahal. Jadi pelanggan tidak perlu takut modelnya pasaran. Lia dapat menjamin,
karena produk yang ia buat adalah murni hasil tangan tanpa bantuan mesin. Hanya
bermodalkan bahan baku aksesoris, lalu dibantu oleh asisten untuk merangkai
produknya. Saat ini, Lia memiliki dua asisten yang sudah termasuk ahli payet di
dalamnya, 5 pegawai tetap, dan 10 pegawai lepas yang dipercayai.
Kendati
tidak menjual produk Geulie’s Handmade secara grosiran, Lia lebih suka
mengerjakan produk berdasarkan permintaan pelanggan. Membuat stok produk sama
saja membiarkan produknya tidak laku. Karena produk yang sudah terlalu lama,
bisa-bisa terlihat usang dan menjadi tidak menarik.
Lia
tidak mempermasalahkan jumlah pemesanan. Ia pernah menerima pesanan dalam satu
model. Pernah pula menerima orderan dalam jumlah ribuan. Tetapi Lia tetap
menekankan ciri “ekslusif”, membuatkan ribuan aksesoris dengan beberapa desain costum.
Mengingat
banyaknya desain yang Lia buat, kakak dari Najla Nashirah Salma dan Yusuf Dwi
Atmoko ini sedang mengupayakan Hak Cipta brand usahanya ke Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual. “Yang didaftarin hak ciptanya hanya brand Geulie’s
Handmade saja. Soalnya terlalu banyak kalau mendaftarkan semua aksesoris,” ujar
perempuan yang pernah meraih penghargaan Juara 1 Display Produk Terbaik di Pekan Kerajinan Jawa Barat (PKJB)
Bandung, Jawa Barat.
Bagi
Lia, sulit untuk mempertahankan ide original
di bidang seni. Karena ditambah satu output sedikit saja, sudah menjadi produk
yang berbeda. Namun, hal itu tidak menjadi alasan bagi Lia untuk berhenti
berkreasi. Perempuan kelahiran Kalimantan ini kerap melakukan traveling ke berbagai daerah di
Indonesia. Sembari refreshing, Lia
mencari referensi dan bahan yang cocok untuk dikombinasikan dengan produknya.
“Biasanya
kalau lagi jalan-jalan, ada saja yang menarik. Sekiranya bisa dibentuk-bentuk
pasti aku fokusin jadi ide baru. Misalnya jalan-jalan ke Bali, aku nemuin bintang
laut dan cangkang kerang. Aku pikir itu bisa ditempel jadi aksesoris,” ujar Lia
merasa senang.
Penggemar
warna pink ini senang mengombinasikan berbagai bahan dan output pada produknya.
Seperti aksesoris wedding yang
umumnya berbahan baku tembaga, oleh Lia ditambahkan payet dan bahan lain.
Berdasarkan pengalamannya, aksesoris wedding
yang hanya menggunakan tembaga dinilai tidak awet.
Sehingga sebagian besar pelanggan justru meminati kreasi Lia Ayu yang
dikombinasikan dengan bahan-bahan lain seperti payet.
Macam payet yang digunakan pun disesuaikan
dengan budget para pelanggan. Payet
keluaran Jepang memiliki harga yang cukup mahal dibanding payet biasa, sebab
kualitas produksinya jauh lebih baik. Namun apabila pelanggan menginginkan aksesoris
dengan harga terjangkau, Lia akan memakai payet non Jepang saja.
Lia memang menargetkan pangsa
pasarnya untuk semua kalangan. Baik kalangan menengah ke bawah, maupun menengah
ke atas. Karena itulah, Lia menyesuaikan produknya dengan pesanan pelanggan. Harga
produk mulai dari Rp 15.000 hingga lebih dari Rp 1 juta per-item. Sedangkan baju pengantin dipatok
harga sekitar Rp 1 - Rp 4 juta ke atas. Dari penjualan tersebut, omzet yang Lia
dapatkan tidak kurang dari Rp 30 – Rp 35 juta perbulan.
Strategi Pemasaran
Pada awal merintis usaha ini, Lia masih mengandalkan
promosi dari mulut ke mulut. Seiring berjalannya waktu, produknya mulai
dipasarkan melalui akun facebook dan media sosial Blackberry Messenger. Berkat kepiawaiannya membangun jaringan, lambat laun pelanggannya tidak hanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia saja. Banyak pelanggan dari luar negeri yang
mengorder produk Lia, seperti Malaysia, Singapura, Mekkah, Madinah, dan
Hongkong.
Lia mengungkapkan betapa penting arti menjaga hubungan
baik dengan pelanggan. Pelayanan terbaik dan memuaskan akan menarik pelanggan untuk
kembali mengorder produk Lia. Selain itu, perempuan yang pandai bergaul ini
kerap membuka obrolan dengan pelanggan, membahas seputar aksesoris. Tapi tak
jarang obrolan mereka merembet ke permasalahan pribadi dan menjadi ajang
curhat.
Owner
yang kerap diwawancari tentang bisnisnya oleh media cetak ini juga memiliki
galeri sendiri. Lokasinya berada di Perumahan Sawangan Permai Blok F11 No 14,
Jalan Perkutut, Sawangan Permai, Kota Depok. Bangunan yang didominasi warna
pink itu merupakan tempat tinggal Lia, kemudian disulap menjadi tempat untuk
memajang dan memasarkan hasil karya Geulie’s Handmade. Bagi pelanggan yang
ingin memesan produk secara offline,
Lia mempersilakan pelanggan untuk datang ke galerinya.
Selain
itu, Lia juga kerap mengikuti berbagai pameran produk kreatif, pameran fashion, hingga pameran wedding. Fungsinya adalah untuk
membesarkan nama Geulie’s Handmade serta mendapatkan pelanggan baru. Lia
mengakui, omzet yang ia dapatkan dalam sekali pameran bisa mencapai Rp 15- Rp
17 juta. Hal tersebut tentu saja diimbangi dengan sebuah trik khusus dalam
mendatangkan pengunjung. Mendesain stand
sesuai dengan tema pameran tersebut, serta memajang berbagai produk yang unik
dan menarik. Karena keunikan dan kreativitas mendesain stand, ia mendapat penghargaan sebagai Stand Industry Kreatif Terbaik Kategori Handicraft pada Festival Industri Kreatif Depok 2014.
Kreativitas
Lia memang tidak pernah berhenti menuai prestasi. Bahkan sampai muncul kejadian
yang unik ketika Lia mencoba menerapkan istilah draping pada boneka barbie. Sebenarnya saat itu Lia tengah
dihadapkan pada masalah kecil, yaitu kerepotan membawa semua desain baju-baju wedding hasil rancangannya ke venue. Hal
itu Lia lakukan karena mengikuti berbagai kegiatan promosi dalam rangka
mengenalkan produknya ke masyarakat. Susahnya apabila agenda promosi dilakukan
di luar kota. Untuk itu, Lia segera memutar otak. Ia berpikir untuk membuat
manekin dengan ukuran mini yang mudah dibawa kemana-mana. Maka terciptalah barbie
draping wedding muslimah, yaitu boneka
barbie yang dipakaikan baju wedding
muslimah rancangan Lia, yang dijahit dan dikerjakan dengan menggunakan tangan.
Setelah selesai, boneka barbie dimasukkan ke dalam kotak yang bagian depannya
terbuat dari kaca. Dengan begitu konsumen dapat melihat boneka tersebut dengan
mudah.
Barbie
draping wedding muslimah hanyalah
sebuah dummy dari desain baju-baju
rancangan Lia, yang nantinya akan dibuatkan baju aslinya apabila ada konsumen
yang memesan. Hanya saja, tampaknya konsumen salah mengartikan kehadiran barbie
draping wedding muslimah. Boneka tersebut justru dianggap sebagai bagian dari
produk aksesori yang Lia tawarkan.
“Pernah dulu, saat ikut
salah satu pameran di JCC (Jakarta Convention Center), salah satu konsumen dari
Papua tertarik membeli pakaian barbie drapping
wedding muslimah beserta boneka barbienya. Padahal yang dijual hanya fashion drapping wedding muslimahnya saja,” kenang Lia sambil tersenyum.
Kini
melihat bahwa barbie draping wedding
muslimahnya memberikan hasil, Lia mulai membandrolnya dengan harga bervariatif.
“Paling mahal sekitar Rp 350.000.”
Selama
menjalani usaha, Lia belum pernah mengalami kendala yang berarti. Termasuk soal
pengiriman barang keluar kota. Umumnya para pembeli dari luar kota atau bahkan
luar negeri memiliki jasa kiriman tersendiri. Malah terkadang dititipkan kepada
teman mereka yang kebetulan datang atau berada di Jakarta. Lia juga punya satu
pengalaman menggelitik yang berhubungan dengan “titip-menitip produk”. Pernah
ada klien dari Hongkong yang memesan beberapa aksesoris, lalu oleh Lia
dititipkan ke rumah tantenya si klien yang berada di Jakarta. Beberapa hari
kemudian, klien itu mengabari Lia bahwa jumlah aksesoris yang Lia kirimkan
kurang. Lia sempat panik. Ia ingat jelas bahwa jumlah aksesoris yang dikirimkan
sesuai dengan permintaan klien. Bahkan sebelum semua produknya dibungkus, Lia
meneliti kembali jumlah aksesoris bersama asistennya.
Pucuk
dicinta, ulam pun tiba. Aksesoris yang hilang ternyata berada di tangan
tantenya. “Ada di tantenya. Jadi pas tantenya terima paket, sama dia dibuka.
Katanya aksesorisnya bagus. Jadi tantenya minta satu, tapi lupa bilang sama
klienku yang di Hongkong,” kenang perempuan yang suka bicara ini.
Tapi tidak
semua jasa pengiriman memiliki regulasi yang longgar. Ada beberapa yang sedikit
lebih ketat, misalnya tidak menerima paket yang ada peniti di dalamnya. “Kadang
sama jasa pengiriman sampai dicopotin. Kalau sudah begitu, aku pasti nyuruh
asistenku yang copotin sendiri di sana biar nggak rusak produknya,” jelas Lia. Solusinya,
Lia beralih menggunakan Pos meski waktu sampainya agak lama dibanding JNE atau
jasa pengiriman lain.
Berkat
ketekunan dan kerja kerasnya, Lia berhasil mendapatkan bantuan dana dari
perusahaan telekomunikasi terbesar di tanah air, yaitu Telkom Indonesia. Selain
dana, bantuan lain berupa macam-macam keterampilan juga Lia dapatkan. Bersama
mitra binaan dan para pelaku UKM lainnya, Lia mengikuti pelatihan ekspor dan
impor. Bantuan seperti itu, tentu saja berguna bagi pengembangan usaha Geulie’s
Handmade.
Namun,
sekali-kalinya Lia pernah mengalami pengalaman ditipu oleh konsumen “nakal”. Pengalaman tersebut terjadi di
awal-awal Lia merintis usaha. Ada pembelian melalui online. “Dia bilang sudah transfer dengan mengirim foto bukti
pembayaran fiktif sebesar Rp 350 ribu. Karena transfernya melalui kliring, proses
cairnya jadi lama sekitar 2- 3 hari. Jadi aku langsung kirim saja handmade pesanannya. Tapi ternyata
ditunggu sampai tiga hari, tidak ada uang yang masuk,” keluh. Pengalaman
berharga yang akhirnya membuat Lia memutuskan untuk mengubah sistem
pembayarannya. Bagi pembeli online yang ingin memesan produknya, Lia mewajibkan
pembayaran DP sebesar 50% dari harga jual. Setelah produknya siap, maka pembeli
harus segera melunasi pembayaran, baru setelah itu barang dikirim. Pada sistem
PO pun, Lia membatasi masa pelunasan maksimal tiga hari. Lewat dari tiga hari,
DP dianggap hangus.
Perempuan
yang menjabat sebagai koordinator pengusaha wanita muda se-Jawa Barat itu
memberi bocoran, bahwa DP tersebut sudah mencangkup ongkos produksi. Dengan
begitu Geulie’s Handmade bisa terus berproduksi, bahkan sampai mengantongi laba
meskipun sedikit.
Belakangan,
Lia sibuk menjadi narasumber dalam acara Buah Hati di stasiun televisi TVRI. Sembari mengisi acara, Lia kerap membawa beberapa
produk aksesoris untuk ditawarkan kepada orang-orang di sekitar kantor stasiun
televisi. Perempuan yang memiliki cita-cita untuk membuka kelas pelatihan handmade ini berharap bisa bekerja sama
dengan pengusaha lain. Seperti yang ia lakukan dengan salah satu pengusaha muda
di bidang anyaman bambu. Dari kerja sama itu, Lia dapat menciptakan kreasi
baru, misalnya aksesoris tas anyaman bambu, topi anyaman, dompet anyaman, dan
lain sebagainya. Paling penting, Lia ingin usahanya bisa berkembang lebih maju
lagi.